Kemarin, tanggal 20/7 saat saya sedang jaga UGD di salah satu rumah sakit swasta, datang seorang wanita berusia 34 tahun, Ny. L, yang datang dengan keluhan mual dan muntah, suatu keluhan yang “biasa” saja sebenarnya. Yang menarik perhatian saya adalah, Ny. L berjalan dengan terpincang pincang sambil berpegangan dengan suaminya. Setelah saya periksa keadaan umumnya, baru saya lihat kondisi kakinya.. dan terkejutlah saya mengetahui bahwa pergelangan kaki kanannya mengalami suatu deformitas (kelainan bentuk), atau “bengkok” (lihat foto).
Menurut Ny. L, awalnya beliau kecelakaan kemudian patah tulang betis, dan menurut dokter harusnya dioperasi. Namun karena pertimbangan biaya akhirnya Ny. L memilih untuk ke pengobatan alternatif, dan bisa kita lihat hasilnya di foto. Sangat amat disayangkan, di usianya yang masih sangat produktif, Ny. L harus menderita seperti ini. Masalah biaya, harusnya Ny. L dimotivasi untuk mengurus JPS/Gakin. Namun sayangnya akibat membengkaknya tagihan askes gakin, proses administrasi untuk pendaftaran gakin menjadi semakin rumit. Di RSSA Malang misalnya, apabila seorang pasien datang ke UGD dengan membawa kartu GAKIN, pasien tersebut belum berhak untuk mendapatkan pengobatan secara gratis, karena kartu tersebut masih harus di “verifikasi” ulang oleh petugas askes yang stand by 24 jam di RSSA. Jadi, seandainya kartu tersebut dinyatakan tidak berlaku, maka terpaksa pasien harus membayar semua biaya pengobatan. Masalahnya.. kita tidak tahu, apa dasar petugas askes tersebut untuk menyatakan kartu tersebut sah atau tidak. Di lain pihak, tindakan askes untuk memperketat pemberlakuan gakin ini memang dapat dimengerti, mengingat di lapangan banyak sekali masyarakat yang “mengaku-aku” miskin hanya demi mendapatkan pengobatan gratis yang bukan haknya. Lihat saja di salah satu bangsal RSSA Malang yang sebagian besar dihuni pasien Gakin, mereka2 yang mendapat pengobatan gratis ternyata masih sanggung membeli handphone merk terkenal, belum lagi perhiasan-perhiasan yang terpasang di tangan dan lehernya. Serba salah… Oleh karena itulah, kata-kata “korban” pada judul artikel ini saya beri tanda petik, karena kasus2 seperti ini memang bukan murni kesalahan pengobatan alternatif..
Melihat kondisi kaki Ny. L sekarang, menurut saya sama saja dengan tidak mendapatkan pengobatan. Seperti yang saya tulis di artikel sebelumnya mengenai patah tulang, bahwa tulang yang patah memiliki kemampuan sendiri untuk menyambung, masalahnya, apakah setelah proses penyambungan itu tulang dapat berfungsi dengan normal seperti sedia kala? Apalah artinya menyambung tulang patah apabila fungsinya tidak kembali normal? Seperti yang terdapat dalam Textbook Apley’s System of Orthopaedics and Fracture.. Treat the Patient, not the fracture..
Recent Comments